KHITTAH NAHDHIYAH
A. Pengertian Khittah Nahdhiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU. Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupun organisatoris.Landasan yang dimaksud adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia. Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
B. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah
Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah kembali menjadi jam'iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP, sebagai tindak
lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di Indonesia(1973). Setelah kembali menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali kepada garisnya yang semula, kepada khitthahnya. Terasa sekali selama ini ada kesimpangsiuran. Ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang berharap terutama kalangan ulama sepuh serta generasi muda, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak. Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali pada khitthah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk. Tetapi gagasan “kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang bagaimana rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah danbagaimana rumusan redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan bahwa NU sudah memiliki khitthah yang hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan bagaimana jluntrungnya kehebatan itu, belum dapat diketahui, dipelajari dengan mudah dan cepat. Adapun sebab utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama, Nahdliyyin melalui ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan oleh para ulama, dibanding dengan diberikan secara tertulis sekaligus legkap berupa risalah.Kedua, aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU belum membudaya, masih lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan secara lisan dan kesulitan ketiga, kaum nahdliyyin umumnya belum biasa menerima pesan-pesan atau pikiran-pikiran tertulis sebab budaya membaca belum tinggi. Namun betapapun sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus dilakukan karena hal itu sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang tidak sempat berguru secara intensif kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah kalau kemudian pemahaman dan penghayatan mereka terhadap apa dan bagaimana NU secara benar, kurang mendalam dan lengkap. Padahal di antara mereka yang tidak memiliki pengetahuan cukup memadai itu sudah banyak berperan penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-lain. Pada sisi lain dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan sebagai sarana pewarisan penghayatan khitthah sangat minim atau boleh dibilang tidak ada. Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai Achmad Siddiq yang tergolong pemikir di antara para pemikir NU yang sedikit jumlahnya, merintis rumusan khitthah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari buku tersebut terbit pada 1980 dan merupakan cikal bakal rumusan khitthah. Pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari tokoh-tokoh muda NU. Mereka membicarakan kemelut yang melanda NU dan bagaimana mengantisipasinya. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas apa-apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka menginventariskan gagasan-gagasan, kemudian membentuk ”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang bertugas merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap “kelompok” di dalam NU. Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais Aam Kiai Haji Ali Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan Musyswarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo tepatnya di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin tahun 1983. Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga dikenal sebagai Majelis 24. Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah penting bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan kembali pandangan NU dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam dekralasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada khatthah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926. Dengan keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas Alim Ulama NU 1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan kemelut internal NU, sekaligus mengubah citra organisasi dalam pandangan hampir semua pihak di luar NU, terutama pihak pemerintah. NU yang selama dasawarsa ini “dijauhi”, sekarang
“didekati” bahkan disanjung-sanjung. Keberhasilan Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang, Sidoarjo (rumah alm. KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan begitu Muktamar ke-27 setahun kemudian, dapat diselenggarakan oleh PBNU dalam kondisi sudah utuh kembali. Ketika itu NU tidak lagi dipandang sebagi kelonpok eksklusif yang sulit diajak bekerjesama, tetapi sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi sebagai kelompok yang “harus ditinggalkan” tetapi menjadi “pihak yang selalu diperlukan”. Muktamar ke-27 yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka oleh presiden, mendapat perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam maupun luar negeri, serta tidak ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang karyawan televisi Jepang menerangkan bahwa kunjungan massa sebanding dengan ketika pemakaman Presiden Aquino di Filipina dan pemakaman Gamal Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya ingin menyuting dari udara. Tetapi sayang tidak diizinkan. Dengan bekal semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan modal cikal bakal risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad Siddiq yang dikembangkan dengan menatap NU masa depan (Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan makalah “Pemulihan Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama NU,1983) serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926 (kesimpulan Munas), maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menetapkan rumusan terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”. Di samping itu, Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan Munas Alim Ulama pada 1983, termasuk Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan panjang tentang Khitthah NU. Para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi perjalanan NU pada masanya. Sekarang tugas generasi muda NU untuk meneruskan prestasi para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah seperti harapan pendiri dan para pendahulu.
C. Ikhtisar ( ringkasan) Khitthah
1. Mukaddimah
a. NU didirikan atas kesadaran terhadap perlunya bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dengan persatuan dan saling membantu.
b. NU adalah jam’iyyah diniyah, berfaham Islam Ahlusunnah wal Jama’ah,
berhaluan salah satu madzhab empat.
c. NU adalah gerakan keagamaan, ikut membangun insan dan masyarakat
yang bertaqwa, berakhlak, cerdas, terampil, adil, tentram, dan sejahtera.
d. Ikhtiyar dan faham keagamaan NU membentuk kepribadian khas NU, yang
kemudian disebut khitthah NU.
2. Pengertian
a. Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU,
secara individual maupun organisatoris.
b. Landasan itu adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan
menurut kondisi masyarakat Indonesia.
c. Khitthah itu juga digali dari sari sejarah perjuangan NU.
3. Dasar Faham Keagamaan
Dasar-dasar faham keagamaan NU :
a. Al-Qur’an
b. Al-Hadits
c. Al-ijma’
d. Al-Qiyas
Di dalam penafsiran dasar-dasar tersebut dipergunakan jalan pendekatan
(madzhab);
a. Dalam aqidah mengikuti faham yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan
Imam Maturidzi.
b. Dalam Fiqh mengikuti salah satu madzhab empat.
c. Dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghozali dan
sebagainya.
4. Sikap Kemasyarkatan
a. A-tawassuth dan i’tidal yakni sikap tengah dengan inti keadilan dalam
keadilan.
b. At-tasamuh yakni toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan
kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. At-tawazun, kesembangan antara beribadah kepada Allah SWT, dan
berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa lalu, masa kini
dan masa depan.
d. Amar ma’ruf nahi munkar, mendorong perbuatan baik dan mencegah hal
yang merendahkan nilai-nilai kehidupan.
5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan
a. Menjunjung tinggi norma atau nilai agama.
b. Mendahulukan kepetingan bersama dari pada kepetingan sendiri.
c. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah dan berjuang.
d. Menjunjung tinggi ukhuwwah, ijtihad dan saling mengasihi.
e. Meluhurkan akhlaq dan menjunjung tinggi kejujuran.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, negara dan bangsa.
g. Menjunjung tinggi nilai kerja dan prestasi, sebagian dari ibadah.
h. Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu.
i. Siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang bermanfaat dan
bermaslahat.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan untuk mempercepat perkembangan.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
6. Ikhtiyar
a. Silaturrahmi antar ulama`
b. Kegiatan dibidang keilmuan
c. Penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial.
7. Fungsi Organisasi dan kepemimpinan Ulama
a. Menggunakan organisasi struktural untuk mencapai tujuan.
b. M enempatkan ulama (sebagai mata rantai pembawa faham Ahlussunnah
wal jama`ah) pada kedudukan kepemimpinan yang amat dominan.
8. N.U dan kehidupan bernegara
a. Dengan sadar mengambil posisi aktif ,menyatukan diri dalam perjuangan
nasional.
b. Menjadi warga Negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD
1945.
c. Memegang yeguh ukhuwwah dan tasamuh.
d. Menjadi warga Negara yang sadarakan hak dan kewajiban ;tidak terikat
secara teroganisatoris,dengan organisasi politik atau organisasi
kemasyarakatan manapun.
e. Warga yang tetap memiliki hak-hak politik.
f. Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk
menumbuhkan sikap demokratis ,koinstitusional,taat hukum dan
mengembangkan mekanisme musyawarah.
9. Khotimah.
a. Khittah NU merujpakan landasan dan patokan dasar.
b. Keberhasilan khithoh NU tergantung kepada semangat dan amal para
pemimpin serta seluruh warga NU , dengan seizin Allah SWT.
c. Isyaaa Allah…………………
D. SOSIALISASI KHITTAH NAHDLIYAH
Harus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU dikalangan warga NU belum dilakukan secara serius, terencana, terarah, dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” Khitthah. Sehingga memberikan penafsiran sendiri, tanpa “membaca naskahnya” Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU” dibidang wawasan ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga (lakpesdam, RMI dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, Khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Betapa kacaunya pemahaman terhadap Khitthah NU, dapat ditangkap oleh seorang kiai pengasuh pesantren sebagai berikut: “Di era Khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus hubunganya dengan NU. Tokoh NU dilarang masuk pesantren ini. Kami hanya berhubungan dengan PPP, sampai pesantren ini dimusuhi oleh pemerintah habis-habisan. Tetapi NU sekarang sudah punya PKB secara total, tidak ada yang ketinggalan dari PPP seorang pun”.
E. MENGAMALKAN KHITTAH NAHDLIYAH
Proses perumusan khittah sangat panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua (Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda(Majelis 24 dan Tim Tujuh), sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik substansinya maupun sistematikanya. Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari hari warga NU. Tetapi sampai saat ini pengamalannya masih jauh dari keinginan khittah itu sendiri. Meskipun pengamalannya merupakan perjuangan berat tetapi warga NU harus tetap berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkannya. Secara garis besar, Khitthah NU yang harus direalisasikan oleh Nahdliyin, telah terbingkai dalam fungsi dan missi NU itu sendiri, yaitu:
1. Sebagai Jam’iyyah diniyyah, wadah perjuangan bagi ulama dan pengikutnya.
2. Sebagai gerakan keagamaan, ikut membangun insane masyarakat yang bertakwa,
cerdas, terampil, berakhlak, tentram, adil dan sejahtera.
3. Sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa dan senantiasa
menyatukan diri dengan perjuangan nasional.
4. Sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia, memegang teguh
prinsip Ukkluwwah, toleransi dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat
Islam maupun dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan maupun
Agama berbeda.
5. Sebagai Organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, senantiasa berusaha
menciptakan warga Negara yang menyadari hak dan kewajibanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar